Ketika Emak Liburan ke Jogja

Candi Prambanan, Pantai Sundak, Pasar Bringharjo, Wisata Jogja, Wisata Hits di Jogja, Wisata Populer di Joga, Oleh-oleh Jogja, Pantai Jogja

Candi Prambanan, photo by perjalananday

Jam baru menunjukan pukul 05.00 wib. Perempuan tua yang tidak mau di sebut tua itu sudah berdandan usai sholat subuh tadi. Gincu paling merah kesayangannyapun sudah di poles. Dia duduk di sofa yang ada di ruang keluarga sambil membuka beranda Facebooknya.

Bagi perempuan yang sudah 4 tahun menjanda ini, mengechek Facebook secara berkala hukumnya adalah wajib. Tujuannya untuk dua hal. Pertama untuk melihat apakah sudah ada yang mengomentari photo profilnya yang baru diganti kemarin. Kedua untuk mengetahui sudah berapa jumlah like photo yang ia upload dua hari yang lalu. Itu saja.

Meski tangannya sibuk mengskrol halaman facebook, tapi mulutnya tak henti-henti mendesak saya supaya segera bersiap karena sebentar lagi akan berangkat (padahal masih satu jam lagi). Yah, meski sudah satu tahun tidak bertemu tidak ada yang berubah dari perempuan ini, warna lipstiknya, ngomelnya dan disiplin waktunya.

Driver datang tepat pukul 06.00 wib. Saya mengangkat barang-barang yang akan dibawa dan meletakkannya di bagasi belakang. Janda kembang yang sudah tampil bak model itu, saya persilahkan duduk di depan disamping Pak Supir. Karena dari awal beliau sudah request maunya duduk di depan, katanya kalau di belakang tidak bisa melihat pemandangan dengan bebas.

Kami berangkat menuju wisata yang sangat poluler di Jogja. Tempat yang selama ini hanya emak lihat di televisi. Tempat yang selalu ingin ia datangi.

Hampir kurang lebih satu jam perjalanan, ibu 3 anak itu sibuk melihat ke kiri dan kanan. Maklum baru pertama kali Ia memijakkan kakinya di kota yang bergelar istimewa itu.

Pukul 07.00 wib kami tiba. Meski kelihatannya agak kepagian, tapi sepertinya ini waktu yang tepat membawa orang tua berwisata ke Candi Prambanan. Ini juga cara untuk menghindari keramaian dan panas yang terik.

Begitu tiba kami langsung menuju konter tiket. Agar emak tidak lelah menganteri, saya dan suami terpaksa meninggalkannya duduk sendiri di kursi panjang yang berada tidak jauh dari konter. Saat kami berdua kembali, emak ternyata sudah siap dengan kaca mata hitamnya. Ckckck!

Kami berhasil melewati pintu masuk yang di jaga oleh beberapa petugas. Tetapi cerewet emak kambuh lagi.

“Mengapa masuk ke tempat wisata saja harus di periksa seperti di Bandara?” tanyanya kesal.

Emak tampaknya agak keberatan ketika tasnya di periksa. Apalagi petugasnya juga mengingatkan emak agar tidak makan dan minum di dalam kawasan candi. Saya dan suami hanya terkekeh dengan omelannya.


Candi Prambanan, photo by perjalananday

Emak yang sedari tadi masih mengomel perkara pemeriksaan di pintu masuk, tiba-tiba terdiam seketika begitu tiba di depan bangunan candi. Senyuman sesumringah itu tidak bisa ia sembunyikan. Matanya terbelalak, lesung pipinya semakin dalam melihat kawasan candi yang begitu luas. Ia terheran-heran mengapa ada manusia yang membangun candi sebesar itu.

Bangunan semegah dan sebesar itu tentu saja baru pertama kali dilihatnya. Tempat wisata paling hebat yang ada di kampung emak adalah Ancol. Tolong jangan bayangkan wisata ini seperti ancol di Jakarta loh yah. Karena ancol di kampung emak ini sangat unik. Tempat inilah yang dulu sering Emak kunjungi bersama almarhum ayah di sore hari setelah pulang dari ladang.

Lokasinya di depan rumah dinas bupati. Posisinya di tengah-tengah antara Jembatan Lintas Sumatera dan Jembatan Betrix. Disepanjang kawasan itulah dibangun tempat-tempat untuk duduk atau nongkrong menikmati pemandangan Sungai Batang Tembesi yang airnya coklat akibat penambangan illegal. Tempat ini biasanya sepi, paling ramai di kunjungi kalau ada perlombaan pacu perahu antar kecamatan.

Handphone emak tidak pernah lepas dari genggaman. Selalu siap siaga memotret setiap sudut pemandangan yang di laluinya. Katanya tempat wisata ini sangat hebat. Ia suka sekali berada disana melihat candi-candi dan manusia yang ramai.

“Oh pantesan petugas candinya seperti di Bandara, ternyata bangunan hebat ini yang mereka jaga” Emak tampaknya sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Suami saya terus menggandeng tangan emak. Bukan takut beliau hilang, tapi takut emak tidak memperhatikan langkah, karena matanya sibuk memandang ke atas terperangah oleh bangunan candi yang megah.

“Tolong photokan emak di situ!” Ia menyodorkan handphonenya
“Sudah”
“Eh ulang lagi!”
“Sudah”
Ulang lagilah, nampakkan orang barat tu!” dengan nada kesal emak memaksaku untuk memotretnya ulang.

Rupanya itu yang emak mau, photo dirinya dengan background yang ada turis mancanegaranya. Bukan photo dirinya dengan latar belakang bangunan candi yang megah. Astaga!

Bisa bertemu orang barat secara langsung tampaknya bagi emak sebuah kebanggaan. Katanya, photo yang ada orang barat itu akan di perlihatkan ke teman-temannya nanti di kampung.

Saat jam sudah menunjukan pukul 09.00 wib, kami meninggalkan kawasan candi. Rute selanjutnya adalah Pasar Bringharjo. Butuh waktu kurang lebih 30 menit perjalanan dari Candi Prambanan ke Malioboro.

Pasar Bringharjo adalah salah satu destinasi wisata yang cukup terkenal di Jogja dan terletak di kawasan Malioboro. Pasar ini menjual berbagai macam barang, tapi yang paling terkenal adalah oleh-oleh batik.

Di lantai satu khusus menjual serba batik. Seperti baju, mukenah dan kain batik. Sangat lengkap dan murah. Ada banyak ukuran yang tersedia misalnya baju batik laki-laki tersedia dari ukuran S sampai XXL. Begitupun baju batik perempuan dan anak-anak. Untuk kualitas sangat sesuai dengan harga. Misalnya daster ibu-ibu 100 ribu dapat 3. Baju anak-anak 100 dapat 5, tshirt jogja di bandrol dengan harga 100 ribu dapat 5, ada juga yang 4 tergantung dari bahannya.

Saya dan suami duduk disamping toko di sebelah tangga kebetulan ada kursi kosong. Kami membiarkan emak puas-puas belanja di sekitar toko itu. Banyak sekali pedagang yang menawarkan dagangannya. Mereka sangat ramah dan pandai menggoda.

Salah-satu keuntungan berbelanja di pasar Beringharjo adalah harganya bisa di tawar. Biasanya pedagang akan memberikan harga dua kali lipat, jadi memang harus pintar-pintar menawar dan tawarlah sewajarnya. Jika tidak sepakat dengan harganya, pakailah jurus ibu-ibu dengan pura-pura pergi. Lagi pula masih banyak pedagang lain yang menjual produk yang sama.

“Berapa yang ini?”
“Satu set baju serta kain. Harganya 370 ribu, ibu boleh lihat ini bahannya rayon sangat lembut dan anti kusut bu”
 “50 ya?”

Saya hampir jantungan mendengar ibu-ibu di toko sebelah itu menawar. Gak mungkin satu set baju dan kain batik dengan kuliatas bahan yang bagus di jual dengan harga 50 ribu. Gila lebih dari separoh harga!

“Ayo ke toko lain. Disini mahal” Emak tiba-tiba saja muncul dari arah kanan dan menarik tangan saya. Ya tuhan ternyata ibu-ibu itu emak saya.

Ibu penjual itu sama sekali tidak peduli atas kepergian emak. Jurus pura-pura pergi yang selama ini selalu emak pakai tampaknya tak berguna disini. Lagian emak juga nawarnya diluar nalar.

Setelah memborong oleh-oleh daster, mukenah dan beberapa sarung batik pesanan teman-temannya. Emak tampaknya belum puas hati karena belum menemukan baju batik seperti yang ia lihat di toko pertama tadi. Kamipun berkeliling hampir ke semua sudut pasar, tapi tidak menemukan seperti yang emak cari.

Dengan muka tebal kami berdua kembali ke toko pertama tadi. Astaga!

Perjalanan belum selesai. Jadwal kami selanjutnya adalah membawa emak ke pantai. Kami bertolak dari Pasar Bringharjo sekitar pukul 11.00 wib. Pantai Sundak ternyata cukup jauh dari Kota Jogja sekitar 2 jam perjalanan.

Pantai Sundak merupakan salah satu pantai yang berada di Gunung Kidul tetangganya Pantai Indrayanti.

Tidak ada yang khas dari pantai ini. Fasilitas dan view seperti pantai pada umumnya.

Mungkin yang membuatnya sedikit istimewa di sebelah utara pantai ini terdapat jejeran bukit batu karang yang tingginya sekitar 12 meter, diantara batu karang itu terdapat sebuah lorong atau goa yang bisa dimasuki. Tapi di dalamnya banyak sampah.

Sayangnya pantai ini kurang terawat dan fasilitas juga kurang memadai. Tidak ada satu pedagangpun yang berjualan di hari itu. Toilet umumnya banyak yang tutup. Musholanya juga kurang bersih. Mungkin karena kami datangnya di hari kerja kali yah, bukan di hari libur.

Karena masih pukul 14.00 wib. Dimana panas sedang berdengkang-dengkangnya. Saya dan suami bersantai di pinggir warung kosong menanti mataharinya agak redup.

Saya mengeluarkan bekal cemilan dan air minum yang dibawa dari rumah. Khawatir kalau emak lapar dan haus.

“Loh emak mana?” Kami berdua baru sadar ternyata emak tidak ada.

Saya segera pergi ke toilet, barangkali emak ada disana. Sementara suami saya mencarinya ke mushola, mungkin saja emak lagi sholat. Ternyata emak tidak ada disana baik di toilet maupun di mushola. Saya khawatir apalagi pantai sangat sepi. Kami berdua berlari ke pinggir pantai dan melihat ke semua arah. Rupanya di bibir pantai sebelah utara Ibu Raudah sedang berselfieria.

LihatTutupKomentar