Surat Cinta dan Asap Untuk Pacarku

Puisi, Surat Cinta untuk Pacar, Asap di Jambi, SAD Jambi


Kebakaran hutan dekat perkebunan kelapa sawit di kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi 30 Juli 2019. Foto Antara via Reuters


Kekasihku tercinta, kutulis surat ini saat langit tidak sedang biru. Saat komplek perumahan Suku Anak Dalam (SAD)1) di Desa Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi berubah menjadi kelabu, terkepung kabut asap dan seluruh bangunan berwarna abu-abu. Sementara cahaya matahari tersandra di cakrawala, membuatku hanya bisa termanggu mengenangmu dengan dada yang sesak.

Andai hari ini engkau di Provinsi Jambi kekasihku, niscaya tak hanya bara api yang kau temukan disini, tetapi juga 3,6 juta paru-paru warganya yang pada tiga minggu terakhir ini terpanggang asap dan menjadi asbak. Udara yang kami hirup disini tak hanya oksigen (O2) saja, tapi sudah bercampur gas karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), nitrogen oksida (NOx),  karbon monoksida (CO) dan partikel berbahaya lainnya yang membuat semakin banyak dari kami di sini tumbang dan dirawat di rumah sakit.

Dari liputan detik.com 17 September 2019 lalu, aku membaca tak kurang dari 16.000 warga Jambi menderita Inpeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)2) akibat terpapar kabut asapSayang dapat bayangkan entah bagaimana nasib ribuan paru-paru anak dan bayi-bayi di Jambi yang setiap hari dijejali oleh senyawa kimia beracun tersebut?

Mengingat semua itu aku menjadi geram, sayang.  Ingin rasanya aku memprotes Pemerintah Provinsi Jambi, dan bertanya kepada Presiden Jokowi3), mengapa bencana seperti ini terus saja dibiarkan berulang-ulang terjadi. Bukankah ia siklus yang sudah bisa diprediksi?   

Tapi apalah dayaku sayang. Aku hanya seorang fasilitator lapangan yang kini paru-parunya juga tersaput jelaga. Dan disinilah aku, mengap-mengap, mengharap engkau segera datang menjemputku sebelum diriku juga ikut habis terpanggang oleh kabut asap.

Ohya sayang, sudah dua minggu terakhir ini aku tidak bekerja, dan juga tak berani keluar rumah karena udara di luar semakin pekat. Sebisanya aku menghindari petaka udara yang menyesakkan dada dan membuat mata perih.

Sejumlah sekolah juga terpaksa diliburkan agar tak semakin banyak anak-anak yang menjadi korban. Mereka dihimbau tak bermain di luar agar tidak sakit seperti yang dialami Al Fikri, bocah usia 7 tahun dari Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Sudah lima ini hari ia terbaring lemas di bangsal rumah sakit karena ISPA. 

Sementara Ahmad Tang (55 Tahun) warga Desa Simpang Datuk, Kecamatan Sungai Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur, menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 September 2019,  setelah asmanya kambuh lantaran tak bisa menghindar dari kabut asap yang menyandera hampir seluruh desa.  

Ketika pulang ke Sarolangun, aku menemukan ayah sedang tergolek di rumah sakit. Pernafasannya harus dibantu dengan selang oksigen dan di lengannya yang rapuh terpasang selang infus. Aku mendengar Ayah mengeluh sesak nafas sejak kualitas udara di kampung kami terus memburuk. 

Sebelumnya dokter sudah memberi peringatan kepada ayah. Ayah diberi obat dan diminta cukup istirahat di rumah. Aku juga sempat menelpon ayah dan memintanya tidak bekerja sementara kabut asap yang mengepung kami terus bertambah.

“Tidak bekerja, artinya tidak makan!” kata ayah di telepon.

Tanggal 16 September 2019 ia dilarikan lagi ke rumah sakit. Kali ini ke rumah sakit swasta Langit Golden Medika yang berjarak sekitar 20 km dari rumahSesak dadanya makin menjadi-jadiDari photo rontgen yang ditunjukan dokter kepada kami, penyakitnya jadi bertambah yaitu pembengkakan di jantung ayah dan harus secara intensif diobati. Berhari-hari kemudian pernafasan ayah harus dibantu dengan tabung oksigen. Wajahnya semakin pucat, semakin kelabu karena tak terkena sinar matahari.

Dan disini aku menunggumu kekasih, menunggu dengan perasaan cemas dan rindu tanpa bisa mengaduh menahan sedih dan juga rasa sakit. Hatiku juga perih mendengar pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, jendral TNI Dr. H. Wiranto yang mengatakan bahwa “asap akibat kebakaran hutan dan lahan tak separah seperti yang media beritakan”.  Di media dia juga menuduh para peladang menjadi biang kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap dan kabut. Tak tahan aku tak berkomentar sayang, karena harus menunggu berapa korban nyawa lagi yang jatuh agar pak menteri percaya bahwa bencana kabut asap ini berbahaya dan juga mematikan!

Kekasihku tersayang, saat aku menulis surat ini, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Jambi dengan parameter partikulat PM 2,5 sudah mencapai 969, yaitu angka berbahaya yang sudah sangat mengkawatirkan. Pantaslah dalam beberapa hari ini aku mengalami batuk disertai bersin, dan sesak napas seakan  kena asma. Bahkan menurut artikel yang kubaca, udara separah ini juga akan menurunkan fungsi paru-paru, pneumonia, iritasi saluran pernapasan, dan berbagai penyakit lainnya. Namun aku masih disini sayang, bertahan demi menantimu dengan penuh harap agar
engkau segera datang menjemput.

Kekasihku yang kucinta, dan paling kucinta. Hampir tiap tahun Provinsi Jambi berlangganan bencana kabut asap.  Kondisi yang sama juga menimpa Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang hutannya terus saja dibabat, beralihfungsi menjadi perkebunan luas kelapa sawit. Setiap tahun kebakaran hutan terjadi, maka setiap tahun pula para peladang ditangkap dan dikambinghitamkan. Sementara para pemilik koorporasi yang lahannya terbakar itu hampir dipastikan selalu menang di pengadilan.

Kekasihku yang tampan, sangat tampan dan selalu tampan. Meskipun seluruh peristiwa ini membuatku sedih, jika engkau datang, aku tentu akan mengajakmu ke jembatan Gentala Arasy. Kita bisa melihat orang-orang lalu-lalang dengan masker menutupi wajah. Saat cuaca mulai membaik selepas hujan, aku akan mengajakmu menyusuri sungai terluas dan tercoklat di pulau Sumatera ini.

Aku tersenyum dalam hati, membayangkan kita berdua mengarungi Sungai Batanghari naik ketek4) sambil menyibakan kabut asap putih yang mengambang di permukaan, antara langit dan bumi. Barangkali ada yang bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita bisa menjadi pangeran dan putri yang dimabuk cinta—di negeri asap—sambil menahan rasa sakit.

Kekasihku yang kusayang, paling kusayang dan selalu kusayang. Selain merindukanmu tentu aku juga merindukan langit biru, dan udara pagi hari yang sejuk. Aku juga merindukan hangat sinar matahari yang hampir sebulan ini tak pernah terlihat.  

Karena setiap aku membuka jendela, sejauh mata memandang yang terlihat hanya jelaga, langit memerah, dan rumah-rumah penduduk berwarna kelabu, sementara udara yang mengambang di atasnya penuh partikel debu polusi sangat kecil yang sangat berbahaya jika terhirup. Aku bahkan tak bisa membedakan mana malam dan mana pagi di sini jika tak melihat arloji. Semuanya tampak sama di luar sana. Ataukah ini perasaanku saja? Karena aku terlalu dimabuk cinta, dan teler sepanjang hari karena dituba udara celaka yang pekat dan pahit?

Sebenarnya sudah seminggu terakhir ini aku terserang batuk. Tenggorokanku gatal, rasa terbakar kering dan menderita sakit. Tapi aku akan tetap menunggumu disini, meski belum ada satu pun suratku yang engkau balas. Aku percaya engkau akan datang memelukku, memboyongku pergi dari negeri yang sedang sakit.

Kita akan hidup bersama dalam ikatan cinta, pulang ke rumah yang sama, tanpa rasa was-was menghirup udara kotor yang mencekik. Semoga harapanku ini tidak terlalu tinggi untuk kuraih. Karena bukankah jika aku tetap menanti dengan setia, maka semesta akan berpihak pada kita, wahai kekasih?

Aku tetap di sini walau pun harapan terasa samar, seperti orang bodoh yang menanti cinta yang hampir memudar. Tetapi kalau pun rinduku tak sampai padamu, aku akan tetap disini menunggu, berharap kalau-kalau di balik kabut asap, engkau akan datang menunaikan janjimu padaku.

Kekasihku yang paling kucintai, terimalah surat ini dari aku yang selalu merindukanmu. Dan bersama surat ini pula ku kirimkan bekubik-kubik asap kabut, yang kumaterai dengan ciuman dan juga peluk terhangat. 

Pelepat, 22 September 2019


[1] Terminologi Suku Anak Dalam (SAD) secara resmi digunakan oleh Kementerian Sosial RI untuk suku bangsa minoritas yang hidup di pulau sumatera. Nama lainnya yang sering digunakan adalah Orang Rimbo (Orang Rimba) atau Suku Kubu. Diperkirakan populasi mereka saat ini hanya tersisa 200.000 orang.
[2] https://news.okezone.com/read/2019/09/17/340/2105753/penyakit-ispa-akibat-kabut-asap-serang-16-000-warga-kota-jambi
[3] Baca tentang upaya Presiden Jokowi mengatasi bencana kabut asap di https://www.liputan6.com/news/read/4067242/upaya-jokowi-padamkan-api-kebakaran-hutan-dan-lahan-berhasilkah
[4] Jenis moda transportasi warga Jambi berupa perahu bermesin di sungai.




LihatTutupKomentar