Menikah Dini Takdir Perempuan Rimba

Suku Anak Dalam, SAD Jambi, Orang Rimba,
Gambar ilustrasi, photo by pixabay.com

Menikah usia muda dianggap suatu hal yang lazim bagi masyarakat komunitas Suku Anak Dalam (SAD) dari rombong (kelompok) Hari yang menetap di Desa Dwi Karya Bakti Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Ini tentunya adalah sistem pernikahan yang banyak merugikan kaum perempuan.

Berdasarkan adat istiadat mereka, sedari kecil anak perempuan harus selalu berada di Sudung (pondok beratap terpal tanpa dinding). Mereka tidak diizinkan berhubungan dengan dunia luar hingga suatu saat ada pria yang datang untuk mempersuntingnya sebagai istri. Itulah kodrat seorang perempuan rimba, perempuan yang selalu menerima nasibnya, tidak pernah menentang adat dan petuah ketua rombong mereka.

Di sini, dunia bagi perempuan begitu sempit, dibatasi oleh dinding-dinding adat yang tinggi dan kuat. Seorang anak laki-laki bisa menjadi anggota TNI atau polisi. Sementara anak perempuan jangankan untuk bersekolah, meninggalkan rumah saja tidak diizinkan oleh orang tua, seakan takdirnya hanyalah meunggu waktu untuk dinikahkan.

Terbetik kabar, anggota rombong bernama Jupri akan menikahi Juliani, beritanya telah beredar sejak satu bulan lalu. Laki-laki berusia 35 tahun itu baru saja bercerai dari isterinya, dan akan berencana menikahi bocah perempuan berusia 14 tahun yang masih duduk di kelas satu di sebuah sekolah kejuruan di kecamatan itu.

Berkat pendampingan yang dilakukan oleh SSS Pundi Sumatera sejak tahun 2012 hingga kini, akhirnya anak perempuan rimba diberikan izin untuk mengenyam pendidikan sekolah formal. Hingga Juliani sampai hari ini bisa bersekolah di SMK N 1 Kecematan Pelepat. Namun rencana Jupri yang  ingin menikahinya ternyata bukan isu belaka, pihak keluarga Jupri dengan frontal mengatakan akan segera menikahkan anak laki-lakinya itu.

Hukum adat pernikahanSuku Anak Dalam (SAD) tidak mengenal toleransi. Jika pihak laki-laki datang untuk meminang dan pihak keluarga perempuan menerimanya maka anak perempuan tidak pernah bisa menolak. Bahkan pihak keluarga tidak pernah mempertimbangkan usia, dan perasaan anak perempuannya. Anakpun tidak pernah diberi kesempatan untuk berbicara, pun jika diberi kesempatan utuk berbicara itu percuma karena  pernikahan akan segera mungkin dilangsungkan.

Terlihat dari kedua bola matanya yang memancarkan kekosongan, sungguh gadis kecil itu tidak mau menikah. Selama ini Juliani selalu gigih dalam bersekolah, selalu mengerjakan tugas sekolah, tidak pernah absen, bahkan merasa rugi jika tidak masuk sekolah. Namun cita-citanya menjadi dokter sebentar lagi akan sirna, pernikahan itu dalam sekejap akan mematahkan sayapnya, sayap yang akan mebawanya terbang menuju gerbang universitas. Semua masa depan yang Juliani dambakan akan runtuh, hancur dan sia-sia, namun terlahir sebagai  seorang perempuan yang dikungkung oleh adat, tidak ada yang bisa dilakukan selain menangis dan memberontak pada takdir. Dan kini, bulu-bulu sayap yang selama ini dia kumpulkan dan perjuangkan sebentar lagi akan berguguran ditelan pahitnya kenyataan.

Malam itu, hujan berserta petir mengguyur pemukiman SAD rombong hari. Para tetua, tumenggung, induk-induk (ibu-ibu SAD) dan bepak-bepak (bapak-bapak SAD) tengah berkumpul di depan balai adat. Malam ini akan diputuskan apakah Jupri dan Juliani akan menikah. Kero, seorang yang ditakuti di rombong itu, membuka perdebatan malam itu. Ia melontarkan argumennya dengan nada tinggi dengan bahasa rimba yang hanya sepatah-sepatah saja ku mengerti.

Kero adalah laki-laki terkuat yang selama ini ditakuti oleh rombong manapun, karenanya Kero termasuk orang yang selalu melindungi anggota rombongnya, paling berpengaruh dan yang paling berambisi ingin menjodohkan adik iparnya Jupri dengan Juliani. Begitupun Mak Nur, perempuan tua yang adalah dukun di rombong itu menyampaikan“Patut koe nak saghok deghi anak e, koe nak nikah kanye dengan budak iyut, kalu bepayuy langsung jejedio!,” teriak mak nur dengan mata terbelalak.
Yang artinya“pantas saja Jupri ingin bercerai dari anak bungsunya karena ingin lekas menikahi Juliani, kalau begitu langsung saja dinikahkan!".Semua keputusan sudah berat ke pihak Jupri yang artinya dalam waktu dekat pernikahan akan segera dilangsungkan.

Melihat kondisi ekonomi yang kian sulit saat ini, tentu menyekolahkan anak menjadi pilihan yang berat. Itulah yang sedang dirasakan oleh bapak Juliani, mungkin inilah alasan mengapa bapak Juliani tidak mengeluarkan pendapat apapun dalam persidangan itu, artinya beliau sepakat jika anaknya di nikahi oleh laki-laki yang benama Jupri. 

Selain itu dalam aturan adat orang rimba diterima atau tidak pinangan dari pihak laki-laki tidak ditentukan oleh bapak melainkan “Mamuk” (paman), meskipun bapak Juliani tidak menginginkan pernikahan itu sementara mamuk menyetujui maka pernikahan sah dilakukan. Begitupun ibu Juliani tidak terlihat di halaman balai adat, ketidakhadirannya dalam persidiangan itu dikarenakan ada tidaknya ibu juliani tidak akan mengubah keputusan apapun.

Malam itu semua orang menyeracau dengan argumen sesukanya, kecurigaan semua orang pun muncul ketika menyadari Jupri begitu terburu-buru ingin menikahi Juliani seorang anak dibawah umur yang masih sekolah. Jupri meninggalkan bungsu (mantan isteri) dengan dalih bahwa bungsu telah menduakannya dengan laki-laki lain. Atas tuduhan tanpa bukti itu bungsu dicerai serta didenda sebanyak Rp 25 juta rupiah. Belum satu bulan perceraian itu, Jupri sudah siap mencari pengganti pasangan hidup dengan akan mempersunting Juliani. Begitulah orang rimba dengan sistem perkawaninannya.

Perdebatan malam itu sangat hebat suara teriakan mereka bagaikan caleg kontestan pemilu yang tengah kampanye.  Masing-masing saling menuduh dan menyeracau, namun tetap saja tidak ada kicauan yang mewakili isi hati Juliani. Juliani tampak enggan keluar dari rumah sebab sudah bisa menebak jawaban atas takdirnya. Juliani selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja, meskipun jauh didalam lubuk hatinya dia sedang bersedih karena harus menikah diusia belia dan mengorbankan cita-citanya. Fenomena pernikahan anak ini tidak hanya dialami oleh Juliani, tapi juga Abriani salah satu anak SAD rombong Hari yang dipaksa menikah ketika ia duduk dibangku SD kelas lima, begitupun dengan perempuan lainnya.

Sebagai seorang fasilitator lapangan tentu, tidak banyak yang bisa ku lakukan untuk menyalamatkan Juliani. Namun aku tidak bisa berdiam diri melihat kejadian yang sama terulang kembali, aku tidak bisa hanya menjadi penonton ketika anak yang bercita-cita tinggi itu akan dinakahi oleh seorang  duda tua.

Malam itu, aku membiarkan tubuhku basah diguyur oleh hujan, memberanikan diri keluar rumah seorang diri, berjalan menuju rumah Juliani ditengah gelap dan hantaman petir yang menyambar silih berganti. Diam-diam tanpa sepengetahuan warga SAD yang lain aku bergegas menemui ibu Juliani, berniat memprovokasi ibu Juliani agar membatalkan perjodohan itu.

“Induk, awak memang tidak berhak melarang Juliani untuk menikah sebab awak adalah orang luar. Tapi induk, awak mohon jangan nikahkan Juliani sebab dia masih budak. Induk, Juliani adalah budak yang ingin sekolah, bukankah kemarin kita sudah sepakat akan melanjutkan pendidikannya ke fakultas kesehatan?, Juliani akan menjadi dokter induk. Induk, janganlah mengkhawatirkan tentang biaya, banyak beasiswa yang sudah menunggu. Induk, Juliani adalah anak yang rajin sekolah dan pintar, janganlah kita  biarkan usahanya selama ini sia-sia. Induk, tolong biarkan Juliani menggapai cita-citanya, jika nanti dia sukses maka induk tidak perlu lagi bermalam hingga berbulan-bulan di hutan, demi mencari rusa dan jernang yang semakin hari semakin langka. induk, Jika Julaini tetap sekolah dia akan mengangkat derajat dan membantu perekonomian keluarga. Induk, percayalah… Julianipun tidak ingin menikah”. Ungkapku dengan lancang sambil memohon dan menggenggam tangan ibu Juliani.

Aku sangat tidak tau malu waktu itu, aku tetap memohon dan menangis di depan ibu Juliani agar beliau membatalkan pernikahan itu, Namun Ibu Juiani hanya diam, tak membalas sepatah katapun. Aku sendiri sadar yang aku lakukan adalah percuma, sebab ibu Juliani tidak bisa berbuat apa-apa. Akupun berlalu meninggalkan rumah Juliani tanpa payung dan tutup kepala.

Keesokan harinya, aku terbangun ketika sinar matahari menyusup masuk lewat jendela rumahku,yah, rumah beratap seng berdinding GRC ini merupakan tempat tinggal ku satu tahun ke depan selama menjadi pendamping SAD rombong hari. Rumah yang aku dan warga SAD lainnya tempati ini adalah perumahan yang dibuat oleh kementerian sosialpada tahun 2014, untuk rombong hari yang sudah berkomitmen menetap menjadi warga Desa Dwi Karya Bakti.

Pagi itu, mataku terasa sembab sebab semalaman menangis karena tidak bisa merelakan Juliani yang sudahku anggap sebagai adikku sendiri, sebentar lagi akan menikah dengan Jupri. Lalu terdengar keributan dari halaman rumah sebelah, terdengar samar-samar dari kejauhan sepertinya keributan itu masih membahas tentang pernikahan Juliani. Aku segera mendekat ingin mengetahui apakah gerangan yang terjadi. Rupanya, ibunya Juliani tengah berdiri ditengah semua anggota rombong, dengan tegas dan lantang mengatakan,

"Anakku ingin sekolah, siapapun tidak ada yang berhak menikahkannya."
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa ibu Juliani berusaha membela anaknya, dia tetap berbicara meskipun Kero memarahinya karena tidak terima jika pernikahan itu dibatalkan. Melihat ungkapan dari ibu Juliani ibu-ibu yang lain justru mencercahi dan mecemoohkannya, mereka mengatakan untuk apa menyekolahkan anak perempuan, kalau disekolahkan tinggi-tinggi nanti dia pergi meninggalkan rumah dan keluarganya. Cemoohan itu tak menghentikan ibu Juliani, dia tetap berdiri dan berteriak membela anaknya agar tetap sekolah.

 “Perempuan rimba juga harus berpendidikan, biarkan mereka menjadi dokter, menjadi guru. Tidak apa-apa jika nanti anakku pergi meninggalkan rumah  dan keluarganya, asalkan dia tidak bernasib sama dengan ibunya, hanya seorang perempuan tua yang tinggal di rimba yang selalu menanti bantuan dari pemerintah”.

“Biarkan juliani sekolah!” teriaknya dengan mata terbelalak. Mendengar ungkapan itu semua orang terdiam.

Mamuk!, gegho o nggo Kero a kini a, anak e pindok nikah dengan sapo bae. Ole anak e masih nak sokolah” yang artinya, Mamuk diminta menemui Kero hari ini juga untuk menyampaikan bahwa Juliani tidak akan menikah dengan siapapun, sebab anaknya masih ingin sekolah. Pinta ibu juliani pada Mamuk (adalah paman Juliani, laki-laki yang memiliki hak bicara dalam adat Orang Rimba) agar segera membatalkan perjodohan itu. Lalu, entah apa yang membuat mamuk berubah pikiran waktu itu, hingga mengabulkan permintaan ibu Juliani dan melupakan perjodohan itu. *

(Penulis adalah Fasilitator Lapangan Pundi Sumatera)

Catatan : Pertama kali di publikasisikan IMC NEWS. ID tanggal 03 April 2019 
LihatTutupKomentar